Selamat datang di dunia Bocah...
RSS

Senin, 11 April 2011

Mahasiswi berkaos lusuh

I paint objects as I think them, not as I see them. –Pablo Picasso
”saya melukis sebuah objek sebagaimana saya berpikir tentang objek tersebut, bukan seperti yang saya lihat”

Kalimat mutiara dari pelukis legendaris tersebut sangat menginspirasi para seniman baik pelukis, kartunis, animator maupun desainer karena memiliki makna dari sebuah kebebasan berekspresi. . Hal yang sama demikian pula saya rasakan bukan hanya karena saya mahasiswi DKV, tapi karena saya mengartikan makna yang tersirat dibalik kalimat mutiara tersebut sebagai sebuah cara berpikir yang berbeda. Makna kebebasan yang saya artikan adalah kebebebasan dalam menilai sesuatu sebagaimana yang saya pikirkan, bukan sebagaimana saya melihat pandangan orang lain pada umumnya yang bisa mempengaruhi sudut pandang saya.

Saya hanya mahasiswi biasa, yang mampu bersaing dengan mahasiswa lain bukan karena saya pintar bukan juga karena saya dilhirkan sebagai seseorang yang berdarah seni. Saya hanya mahasiswa yang bermodal niat, nekat dan kemauan tinggi. Perjalanan kuliah saya sedikit dibumbui rasa disiplin yang pekat yang membuat saya mampu bertahan ditengah persaingan yang amat ketat. Memang ketatnya persaingan itu seketat apa?. Apakah pelakunya hanya mahasiswa?. Lantas mahasiswa itu sebenarnya apa?. Orang kah?. Sekumpulan orang kah?. Apakah tugasnya?. Berperan pentingkah bagi Negara kita tercinta ini?. Yang saya tahu pendapat masyarakat tentang mahasiswa yakni : mahasiswa adalah sekian banyak manusia yang berperan sebagai penerus bangsa yang memiliki kewajiban memperjuangkan hak-hak bangsa demi mencapai cita-cita bangsa. Artinya apakah sebuah keharusan ketika harga BBM naik mahasiswa harus ikut berdemo dan berorasi di depan gedung DPR demi kesejahteraan bangsa?. Dan apakah ketika ada seorang anak jalanan mencuri sepotong roti lalu lantas mahasiswa harus ikut menghakimi anak tersebut demi keamanan masyarakat?. Saya rasa tidak. Namun faktanya posisi mahasiswa dimata masyarakat secara garis besar dapat disimpulkan seperti itu. Dan kebanyakan mahasiswa pun masih berpikir hal yang sama. Lantas apakah dengan bertindak seperti itu mahasiswa mampu mengatasi konflik Negara kita yang terlanjur pelik ini?

Rasanya jadi mahasiswa kadang enak kadang tidak. Enaknya jadi mahasiswa kita masih bebas berpendapat, masih bisa pakai kartu mahasiswa agar dapat potongah harga di percetakan, masih bisa nunggak tagihan kos-kosan dengan alasan belum di transfer uang. Tetapi bagian tidak enaknya adalah ketika saya mendapat sebuah pertanyaan “Loh..kamu kan mahasiswa masa kamu tidak tau menteri ini…atau menteri itu?. Malu dong!”. Kadang saya berpikir apakah dengan saya menghafal nama para menteri satu persatu berarti saya sudah turut memajukan kesejahteraan bangsa ini?. Faktanya, konflik Negara kita ini sudah terlanjur sangat pelik, rumit dan tak pernah ada solusinya. Kalaupun ada solusi pasti harus ada yang dikorbankan.

Berbagai tuntutan dari rakyat diajukan kepada pemerintah, namun saya memilih menutup telinga dan mata seolah tuli dan buta. Saya justru merasa malu jika saya ikut menuntut ini dan itu. Negara sudah izinkan saya untuk menuntut ilmu, Negara sudah izinkan saya untuk bebas berpendapat dan Negara juga telah mengizinkan saya untuk tinggal di bumi pertiwi. Setidaknya itu sudah cukup bagi saya. Kini saya hanya berpikir apa yang bisa saya beri untuk Negara ini?. Indonesia butuh sosok-sosok muda yang sanggup membantu dia untuk berani maju. Selama ini Indonesia mempunyai embel-embel nama Negara berkembang dengan kata lain Indonesia sedari dulu masih jalan di tempat. Indonesia sudah semakin tua, semakin tua justru semakin didesak dengan tuntutan ini dan itu, sanggupkah Indonesia maju dengan kondisi seperti ini?.Mahasiswa adalah kuncinya.

Seperti yang sering di lontarkan bapak Wijayanto “Teman-teman mahasiswa adalah Agent of Change yang bisa membawa perubahan untuk Negara ini”. Membawa perubahan itu tidak selalu dengan berteriak-teriak, beramai-ramai memenuhi pelataran gedung DPR, berorasi dengan pengeras suara yang begitu kencang. Ini saatnya mahasiswa Indonesia bertindak cermat untuk membantu bukan menuntut Negara ini. Cara-cara klasik sudah tak mempan lagi untuk mendorong Indonesia yang tua agar berani maju.

Ini cerita tentang seorang teman dari Blitar. Sebut saja namanya Pemuda dari Blitar. Penampilannya sederhana, cara bicaranya masih kental dengan logat jawanya, namun ia bangga dengan ciri khas daerah yang melekat pada dirinya. Semangat tingginya berhasil membawa ia segera terbang ke Amerika untuk belajar disana bulan Juni mendatang. Jauh-jauh ia pergi ke Amerika untuk mempelajari keilmuan yang ia geluti yakni Manajemen Bisnis. Namun ketika saya tanya apa cita-citanya, ia menjawab “saya ingin jadi petani”. Jawaban singkat yang cukup mengetuk hati. Tak perlu ia paparkan alasan mengapa ia ingin jadi petani saya sudah tau jawabannya. Indonesia memiliki potensi yang sangat besar dibidang pertanian dan butuh sosok seperti Pemuda dari Blitar yang akan mampu meningkatkan perekonomian Indonesia dari sektor pertanian. Cerita Pemuda dari Blitar ini cukup mengingatkan kita tentang rasa bangga akan budaya dan potensi alam yang kita miliki. Kita sebagai mahasiswa tentu punya cita-cita, bahkan pepatah juga memotivasi kita untuk menggapai cita-cita setinggi langit. Pepatah itu memberikan saya hak untuk mengelaborasi lagi “mengejar cita-cita sampai ke Eropa dan menggantungkan cita-cita di Surga”.

Berbeda dengan Pemuda dari Blitar. Saya lebih suka memakai sandal jepit dari pada sepatu, saya lebih senang memakai kaos lusuh dibanding dengan kemeja baru, saya lebih memilih tidur larut malam dibanding harus bangun lebih pagi, saya lebih senang tidur di kasur yang keras dibanding kasur yang empuk, saya lebih memilih melakukan hal yang tidak bisa saya lakukan dibanding melakukan hal yang bisa saya lakukan dengan suasana hati yang tidak ikhlas, saya lebih memilih menulis berlembar-lembar cerpen dibanding mengerjakan 5 soal matematika dan saya pun sering berangan-angan suatu saat saya akan keliling Eropa untuk melihat indahnya kota-kota seni yang ada disana. Dengan kaos lusuh yang saya kenakan sehari-hari, saya mempunyai mimpi suatu hari nanti saya akan menjadi bagian penting dari anak jalanan di sebuah sanggar terbuka yang siap memupuk ide-ide kreatif yang mereka punya agar kehadiran mereka di tepian Jakarta menjadi sebuah pemandangan indah yang tak kalah indahnya dengan kota-kota seni yang ada di Eropa. Lalu lantas apakah saya termasuk mahasiswi aneh?. Bisa ya, bisa tidak. Namun itulah saya.

Dari Sabang sampai Merauke ada berapa banyak mahasiswa Indonesia?. Ratusan bahkan jutaan jumlahnya. Tentu karakternya berbeda-beda, banyak yang seperti Pemuda dari Blitar dan banyak juga yang seperti saya. Indonesia butuh para Agent of Change yang berkarakter kuat yang tak hanya cerdas berpikir dengan logika namun juga cerdas berpikir dengan hati. “Saatnya membuktikan cinta kita untuk Indonesia dengan memberi bukan menuntut”



1 komentar:

Wirawan Noviana mengatakan...

hebring congg... mantappp kau berbakat nak...

Posting Komentar

click this!