Selamat datang di dunia Bocah...
RSS

Rabu, 13 Oktober 2010

Jika tak nekat, mungkin aku sudah jadi pujangga

Dikampusku hari ini ada yang kutunggu-tunggu, yaitu meeting dengan dosen soal nominasi Investigative Report yang akan dibukukan menjadi sebuah judul “Korupsi di sekitar kita” yang akan diterbitkan kampusku tercinta Universitas Paramadina. Dengan judul “Menguak Fenomena Handphone Black Market) kelompokku berhasil masuk 15 nominasi kasus yang akan ditulis dibuku itu. Lalu apa hubungannya kampus, buku dan korupsi?. DI kampusku unik, mahasiswa diwajibkan mengambil mata kuliah anti-korupsi pada semester pendek. Dan kampusku adalah satu-satunya Universitas di dunia yang pertama kali memasukan mata kuliah anti-korupsi dalam kurikulum. Dibukunya nanti, kartunis Benny & Mice bersedia menjadi ilustratornya. (Apa sih yang gak bisa sama Paramadina?) hehehehe.

Ke-15 nominator diharuskan membuat sebuah narasi dengan gaya penulisan popular. Apa sih penulisan popular?. Tiba-tiba aku jadi merasa bingung dan hati kecilku bergumam “jangan-jangan aku tak bisa!”. Ada titik pencerahan untuk tau lebih detil soal gaya penulisan poluler (padahal di semester 3 yang lalu aku belajar penulisan popular, hehehehe). Dosenku bilang agar kami lihat contoh tulisan di majalah Tempo. Akhirnya bergegaslah aku ke perpustakaan dan kubaca beberapa tulisan yang ada di majalah Tempo daaaannn ternyata…jeng…jeng…jeng…itu gaya tulisanku!, hahahaha. Tapi aku tak yakin, lalu aku meyakinkan diri dengan meminta tolong Sasha temanku untuk membaca tulisanku “Mau kasih kado apa untuk Indonesia?”. Dengan polosnya Sasha berkata “Sumpah gue sampe merinding bacanya!”. Aku timpali “Itu kan tulisan gue Sha!”. Dengan spontan Sasha menjawab “Serius lo?. Gue kira itu tulisannya Pak Anies, makanya waktu itu gue sebar-sebar aja di facebook”. Sasha pun bilang bahwa gaya tulisanku memang sama dengan gaya tulisan di majalah Tempo. Setelah mendengar pernyataan Sasha aku jadi berpikir bahwa aku sebenarnya memang bisa menulis tapi sayang aku moody ketika menulis dan semoga nanti aku bisa menulis narasi dengan baik.

2 tahun aku mengambil program bahasa di SMA dan 2 tahun pula aku mendalami bahasa Indonesia dan sastra Indonesia. Bahkan dulu aku bercita-cita menjadi penulis, tapi kenapa sekarang aku duduk manis jadi mahasiswi DKV?. Itulah yang mau aku ceritakan. Dulu, aku berpikir bahwa penulis adalah pekerjaan yang paling manis untuk seorang perempuan. Kenapa?. Kelak nanti aku akan berkeluarga, menjadi seorang istri untuk suamiku, dan menjadi seorang ibu untuk anak-anaku dan aku pikir dengan menjadi penulis aku bisa mempunyai banyak waktu di rumah dan bisa mengurus keluarga kecilku nanti. Akupun bersikukuh untuk mengambil jurusan Sastra Indonesia tapi Tuhan punya rencana yang lebih baik dari rencanaku. Mendekati ujian nasional aku jadi berpikir, menjadi penulis bukan berarti aku harus belajar sastra terus menerus. Toh ada juga Dokter yang bisa jadi penulis, ada juga politikus yang jadi penulis. Sampai akhirnya aku tertarik dengan dunia desain dan mengambil jurusan DKV di Universitas Paramadina.

Jujur, aku tak dikaruniai Tuhan bakat menggambar yang luar biasa, aku juga tak dikaruniai Tuhan bakat seniman yang kuat, tapi aku bersyukur pada Tuhan karena aku dikarunia segudang optimisme didalam jiwaku. Dengan modal niat dan nekat sampai sekarang aku bisa bersaing dengan teman-temanku yang luar biasa. Aku bertahan bukan karena aku berbakat menjadi desainer, toh tak ada yang namanya bakat desainer ada juga bakat seniman. Selain itu, aku pun yakin bahwa dengan belajar aku bisa jadi desainer yang baik. Percaya atau tidak saking merasa tidak percaya diri, di semester pertama ketika mata kuliah menggambar 1 (tepatnya hari kamis) aku selalu memakai baju warna ungu agar bisa Hoki dan bisa menggambar dengan baik. Dan hasilnya aku bisa mendapat nilai A (itu karena bantuan Tuhan untukku) hehehe

Kini aku sangat senang menjalani hidup di duniaku yang baru, tapi kadang akupun rindu duniaku yang dulu, aku rindu bersikap seperti pujangga!. Guru sastraku tercinta beberapa hari yang lalu bertanya padaku lewat facebook “Nak, kamu punya blog tidak?” sungguh aku jadi merasa sangat diperhatikan apalagi ketika beliau bilang blogku bagus. Namanya Ibu Dewi, beliau yang mengajarkanku merasakan betapa indahnya dunia sastra. Walaupun hanya sebentar (karena beliau harus pindah mengajar ke luar negeri) banyak hal yang selalu aku ingat darinya termasuk caranya menularkan kecintaan untuk sastra Indonesia dan kalimat “Nak, kau selalu mencintai orang-orang yang berbahaya”. Akhirnya ada guru pengganti yang menggantikan beliau, walapun tak seromantis beliau aku tetap semangat belajar sastra.

Sungguh, tahun pertama ada tahun-tahun yang membuatku rindu atas duniaku di SMA sampai akhirnya Dosenku yang bernama Mas Nuri berhasil mengobati rinduku lewat mata kuliah “Penulisan Populer” dan aku berhasil mendapat nilai tertinggi di kelas  . Tapi jujur, semenjak duduk dibangku kuliah aku jadi kesulitan untuk berkata-kata mungkin karena tak terbiasa lagi. Sesekali (ketika spontan dan perasaanku sedang bergejolak” aku bisa menuangkan isi hatiku. JIka kau cermat, mungkin kau bisa mengenali aku yang sekarang melalui tulisan-tulisanku di blog ini. Bedakan ketika aku menulis berparagraf-paragraf dan ketika aku menulis hanya beberapa baris kalimat saja. Ketika aku menulis singkat, itulah jiwaku yang sekarang yang layaknya seorang calon desainer (mulut diam tangan bicara) dan ketika aku menulis panjang itulah tulisan jiwaku yang kuanggap setengah pujangga. Hanya ada satu yang sama sedari dulu hingga kini, “aku selalu mendapat ide dan inspirasi ketika mandi dan BAB” . Kenekatanku justru kini membuahkan hasil yang manis, aku bisa mendesain dan sesekali akupun juga tetap bisa menulis dengan hatiku.

Terima kasih Tuhan untuk nikmat hidup yang Kau berikan… Read More ..

click this!